29.4.09

Salam Tiga Angka Enam!

Sumber :
Supri-online




Artikel ini dimuat di ruangbaca Tempo, edisi Minggu - 26 April 2009

"gwa hanya minta sekeping surga yang selama ini kamu miliki. hanya sekeping saja. diantara jutaan keping yang sudah lo miliki hingga saat ini. penebusannya adalah lo boleh miliki gwa hingga waktu yang tak terbatas. walaupun untuk bisa seperti itu semua tabungan keberanian gwa habis gwa gadaikan didepan lo."

Cerita di cerpen ini tak lepas dari seeseorang imaginative bernama Kleptosickcyco yang menurut paparan Adi berumur tiga ratus tahun dan dilahirkan dari ibu yang bernama Modernisme. Di dalam cerpen ini juga Addy secara gambling menuliskan setan setan yang nyata menghantui kehidupan sehari hari , Addy menyebut setan pertama bernama Konsumtivisme, mengenakan topeng yang terbuat dari bahan sobekan uang kertas, kartu kredit dan uang logam. Lalu setan berikutnya adalah Kapitalisme, Pembangunan, Sistem,Feodalisme. Jenis jenis setan yang lain ditulis dengan deskripsi yang unik dan tak jauh dengan deskripsi apa yang ada pada kenyataan yang kita hadapi selama ini. Buku ini sebenarnya terdiri dari tiga buah cerpen, yaitu Enam yang pertama, Tuhan Telah Mati, Enam yang kedua berjudul Sayap Hitam dan ditutup oleh enam ketiga, Tiga Angka Enam. Saya sarankan tanggalkan subjektifitas dan perspektif sempit sebelum anda menyimak cerpen dengan nuansa sarkasme cukup tinggi ini,


Buku ini dibuka oleh cerpen unik berjudul Tuhan Telah Mati, yang menceritakan sebuah negeri dengan cuaca sangat panas dan oksigen adalah sebuah komoditas industri yang diperjual belikan. Negeri ini memiliki penduduk berupa makhluk berkepala burung gagak dan berlanjut dengan deskripsi bahwa makhluk tersebut memiliki misi membunuh Tuhan dan membuang bangkainya dalam dimensi keterasingan umat manusia . Disini para makhluk itu berpikir bahwa Tuhan adalah sebuah entuk metafisik yang sifatnya fiktif dan hanya berada dalam pola pikir dan dunia maya saja. Bagaimana proses makhluk berkepala gagak itu dalam merencanakan dan merealisasikan kampanye nya ke dunia manusia sekarang ini ? Anda dapat mengetahui jawaban nya bila anda membaca cerpen pertama ini.

Cerpen kedua, atau tepatnya Enam kedua, bertajuk Sayap Hitam. Yang saya nilai cerpen yang paling cerdas dalam buku ini. Saya membutuhkan waktu cukup lama untuk meretas ide dan maksud Addy menulis Sayap Hitam, ada kalanya saya menyimak kembali cerpen lama beliau, Republik bintang Tengkorak namun tak kunjung menemukan korelasi yang tepat di antara keduanya. Cerpen ini seakan mengiring pembaca untuk menemukan batasan semu antara realitas dan imajinasi menuju paham kehidupan setelah kematian. Cerpen berat ini terbagi menjadi beberapa bab, dibuka oleh Sunrise Kaliber 9mm berlanjut pada bab Ada Perang di Luar Sana yang banyak bercerita tentang perang mencari ‘kebenaran’ dan menutupi dosa dengan ‘kebenaran’ karena sesungguhnya ‘kebenaran’ bisa dibeli dengan sesuatu yang bernama uang.

Bab berikutnya lebih cenderung ber cerita tentang dimensi standarisasi ‘kebenaran’ yang memang telah terbentuk melalui proses pembenaran, selama kurun waktu tertentu, bab ini diberi nama mata masa lalu.Akhirnya cerpen ini ditutup dengan bab Jangan cari aku di surga bab yang secara lugas bercerita ketidakpuasan penulis kepada system yang ada mengenai legalitas,keabsahan dan segala sesuatu yang menggiring terbentuknya opini public,sehingga bangsa ini menjadi bangsa yang mudah lupa.

sepenggal kalimat ruh pada raga

Buku ini merupakan cetakan ke dua Kumpulan Cerita Pendek Addy Gembel Tiga Angka Enam. Sebelumnya, cetakan pertama terbit tanggal 14 Agustus 2005 oleh Minor Books. Sebuah balai penerbitan independent milik Iman Rahman yang biasa disebut Kimung. Dengan begitu tingginya permintaan khalayak terhadap buku ini, Minor Books, bekerja sama dengan Omuniuum dan Balatin Pratama, menerbitkan kembali buku ini. Ada perubahan desain sampul di cetakan ke dua ini. Grafis sampul cetakan ke dua digarap oleh Danive dan diset ulang oleh Kimung. Di cetakan pertama Asmo yang mengarap desain sampul. Cetakan pertama buku ini pernah menghebohkan di dunia literasi indie tanah air , lewat gaya Sayaan dalam cerpen yang merupakan hulu sekaligus muara lirik-lirik lagu yang diciptakan Addy Gembel bersama Forgotten, band death metalnya. Katakanlah ini merupakan lahan eksplorasi Addy Gembel dalam menggambarkan detil yang tidak dapat digoreskan lewat media musik. Atau, inilah proses kreatif Addy Gembel yang begitu menggurita dalam mencipta musik dan sastra. Apapun itu, cerita-cerita pendek Addy Gembel dan musik Forgotten adalah dua sisi kepeng uang yang senantiasa saling melengkapi. Ilustrasi dan soundtracknya.

Addy Gembel lahir di Bandung pada 23 Oktober 1977. Nama aslinya Addy Handy Mohamad Hamdan. Addy—atau Gembel, begitulah ia akrab disapa—tumbuh dan besar di komunitas musik metal Ujungberung Rebels. Di kota kecamatan dengan jalanan pojok tertimur Kota Bandung inilah Addy mengasah kepekaannya dalam memandang dan menyikapi pelbagai kondisi sosial budaya yang merebak baik dalam skup lokal maupun global. Bersama band cadasnya, Forgotten, Addy dengan garang dan tanpa tedeng aling-aling menuding dan menggugat berbagai sistem kemapanan, baik yang kasat mata dan terasa maupun yang abstrak memabukkan. Sejak 1999, Addy dan Forgotten telah merilis empat buah album, yaitu Future Syndrome, Tuhan Telah Mati, Obsesi Mati, dan Tiga Angka Enam. Tiga buah cerpennya--”Republik Bintang Tengkorak”,” Modenisme...Itulah Ibuku!”, dan “Kegelapan, Kesunyian itu Bernyawa” pertama kali diterbitkan Hitheroad Publishing dalam antologi cerpen dan puisi Perlahan Dalam (2004) bersama empat Penulis Bandung lainnya. Salah satu dari cerpen tersebut yang berjudul Modernisme .. itulah Ibuku ! dilampirkan juga dalam buku ini.

Saya mengenal pribadi Addy Gembel sebagai pribadi yang santun namun memiliki pendirian keras dalam kesehariannya, dan Saya memiliki perhatian lebih dari rilisan album Forgotten semenjak album Future Syndrome , karena disini Addy seperti memiliki ruang dan dunia sendiri sebagai proses ekspresi kreatif pembuatan lirik pada lagu lagu Forgotten dan Addy pun mengakui bahwa menulis adalah sebuah media pembebas yang imajinatif yang tertuang dalam cerpen miliknya. Sehingga suatu saat saya membaca Cerpen Modernisme...Itulah Ibuku! yang pernah dimuat dalam antologi cerpen dan puisi Perlahan . Cerpen ini saya nilai sangat berat dan memiliki muatan kritik sosial tinggi. Satu alinea yang normatif dan bisa saya kutip

Ada kesunyian yang terselip di hati.

Melayang laying dalam dimensi ketidakpastian.

Semua berwarna hijau dan tanpa ekspresi.

Tanpa rasa, tanpa bau.

Stagnan

Bagian terakhir dari kumpulan cerpen ini, berjudul Tiga Angka Enam, yang bertutur mengenai pasangan ruh dan raga. Ruh yang digambarkan sebagai wanita muda berumur dua puluh tiga tahun, agak tomboy dengan rambut cepak. Sedangkan raga dituturkan sebagai seorang pria muda yang mencari jati diri . Pasangan ini diceritakan secara sederhana oleh penulis tengah mencari surga dan neraka, Pesan yang ingin diberikan oleh penulis pada pembaca pada cerpen ini tampak jelas secara eksplisit bahwa surga dan neraka itu benar adanya, dan pilihan ada di tangan kita untuk menggapai surga atau masuk terjerumus ke dalam neraka .

Sebagai penutup, saya menilai bahwa membaca buku ini secara keseluruhan tidak bisa hanya sekali saja. Terlepas dari cara penuturan Addy Gembel yang memikat dalam cerita-cerita pendeknya, apresiasi terhadap buku ini membutuhkan pemaknaan berkali-kali atas apa yang coba diungkapkan Addy Gembel lewat ide ide kreatif yang meluncur deras dalam cerita pendek nan ‘panjang’ dalam buku ini.

Cerita dalam bukku ini mungkin hanya ilustrasi dari kehidupan namun dituturkan dengan gaya bahasa yang cukup sarkasme . Gaya bahasa itu juga terdapat pada lirik lagu lagu band Forgotten sebagai media ekspresi dan deskripsi lain milik Addy Gembel. Namun hal itu tak lepas adalah kerangka pematangan ide yang kreatif dan imajinatif dalam mengungkapkan fakta dan realita.

Sumber :
Supri-online

No comments:

LinkWithin

Related Posts with Thumbnails